Pertanyaan: Mohon dijelaskan tentang perihal niat, apakah harus dilafadzkan dan kapan waktu melaksanakannya?
Jawaban syaikh Qaradhawi
Sesungguhnya puasa memiliki dua pilar utama, yaitu menahan diri dan niat . Yang dimaksud dengan “menahan diri” adalah menahan diri dari keinginan makan, minum, hubungan badan, serta hal-hal yang sejenisnya sepanjang hari puasa.
Adapun yang dimaksud dengan “setara dengan makan dan minum” adalah keinginan-keinginan yang telah menjadi kebiasaan bagi sebagian orang, meskipun bukan termasuk makanan atau minuman, seperti merokok.
Bagi mereka yang sudah terbiasa merokok, hal ini bahkan lebih penting daripada makan dan minum. Oleh karena itu, merokok dilarang selama berpuasa, baik melalui rokok biasa, rokok shisha, mengunyah tembakau, menghirup asapnya, atau cara lainnya.
Hal ini disepakati oleh para ulama Islam di seluruh dunia karena merokok termasuk godaan yang sangat kuat, yang harus dijauhi dalam ibadah puasa.
Bahkan lebih parah lagi adalah penggunaan narkoba terlarang seperti ganja, opium, heroin, kokain, dan sejenisnya, baik melalui cara menghirup, menyuntikkan, atau metode lainnya—semua ini dilarang secara mutlak.
Baca Juga: Hukum Berpuasa Saat Bepergian: Panduan untuk Perjalanan yang Lebih Nyaman
Termasuk dalam kategori makan dan minum adalah segala sesuatu yang sengaja masuk lewat mulut dan mencapai lambung, meskipun tidak disukai atau tidak memberikan kenikmatan.
Contohnya adalah obat-obatan yang diminum, diserap, atau ditelan. Ini adalah aturan yang disepakati oleh para ulama. Jika seorang Muslim benar-benar membutuhkan salah satu dari obat-obatan tersebut, maka ia dianggap sakit dan diperbolehkan untuk berbuka puasa sesuai dengan izin syariat, tanpa ada dosa baginya.
Selain itu, termasuk dalam kategori “hubungan badan” adalah ejakulasi yang dilakukan secara sadar, misalnya masturbasi, pandangan berulang yang disengaja, kenikmatan melalui sentuhan, ciuman, pelukan, dan sejenisnya, yang merupakan langkah awal menuju hubungan seksual.
Jika seseorang melakukan salah satu dari tindakan tersebut hingga mengeluarkan air mani, maka puasanya batal.
Urgensi Niat
Niat dalam puasa, dan dalam setiap ibadah wajib lainnya, adalah suatu keharusan. Tidak perlu kita memperdebatkan apakah niat itu rukun (unsur pokok) menurut sebagian ulama, atau hanya syarat (prasyarat) menurut sebagian lainnya.
Sebab, perbedaan ini bersifat teoretis dan tidak berpengaruh praktis, selama semua sepakat bahwa niat adalah wajib. Niat di sini berarti menjalankan ibadah sebagai bentuk ketaatan kepada perintah Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya.
Beberapa orang mungkin menahan diri dari makan dan minum dari fajar hingga matahari terbenam, bahkan lebih lama lagi, namun dengan tujuan lain, seperti olahraga atau menurunkan berat badan.
Ada juga yang menahan diri sebagai bentuk protes terhadap sesuatu, atau bahkan ancaman bunuh diri dengan cara mati perlahan, seperti yang sering dilakukan oleh para tahanan yang mogok makan di penjara. Ada pula yang menahan diri karena begitu sibuk bekerja sehingga melupakan makan dan minum.
Semua orang ini tidak dapat dikatakan sedang menjalankan puasa yang sah secara syariat, karena mereka tidak berniat dan tidak bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah serta mengharap pahala-Nya.
Allah tidak menerima ibadah tanpa niat. Allah SWT berfirman: “Dan tidaklah mereka diperintahkan kecuali untuk menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.” (QS Al-Bayyinah: 5).
Rasulullah SAW bersabda: “Setiap amal tergantung pada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan.” (Hadis Muttafaq ‘Alaih dari Umar bin Khattab).
Beliau juga bersabda: “Semua amalan manusia adalah miliknya, kecuali puasa, karena puasa itu milik-Ku, dan Aku sendiri yang akan membalasnya. Seseorang meninggalkan makanan dan syahwatnya demi-Ku.” (Hadis Muttafaq ‘Alaih dari Abu Hurairah).
Maka, barangsiapa meninggalkan makanan dan syahwatnya demi alasan selain Allah, maka dia tidak menjalankan puasa yang sah secara syariat.
Melafalkan Niat
Lokasi niat adalah hati, karena niat adalah komitmen hati terhadap sebuah tindakan. Melafalkan niat dengan lisan tidak diperlukan, dan tidak ada dalil dari teks-teks agama yang mensyaratkan hal itu, baik dalam puasa, salat, zakat, kecuali dalam urusan haji dan umrah.
Dalam urusan duniawi, manusia tidak melafalkan niatnya. Misalnya, seseorang tidak berkata, “Aku berniat pergi ke negara tertentu,” atau “Aku berniat makan ini dan itu.” Begitu pula dalam urusan agama.
Oleh karena itu, niat bukanlah masalah bagi seorang Muslim yang taat dalam menjalankan puasa, karena secara alami ia sudah berniat dan bertekad untuk melakukannya. Bahkan jika ia dipaksa untuk tidak berniat, ia tidak akan mampu melakukannya.
Di antara indikator niat adalah ketika ia bangun untuk makan sahur, menyiapkan makanan sahur meskipun tidak jadi melakukannya, menyiapkan hidangan untuk berbuka esok hari, dan mengatur pekerjaan serta jadwalnya sesuai dengan kondisi puasa.
Oleh karena itu, tidak perlu banyak bicara tentang niat, karena niat sudah ada dalam hati setiap Muslim yang terbiasa berpuasa. Yang benar-benar membutuhkan pembaruan niat adalah mereka yang memiliki uzur yang membolehkannya berbuka, seperti orang sakit atau musafir, yang kadang berpuasa dan kadang berbuka.
Ketika mereka berpuasa, mereka memerlukan pembaruan niat agar hari puasanya berbeda dari hari berbukanya.
Kapan Niat Puasa Harus Ditetapkan?
Penting untuk mengetahui kapan waktu penetapan niat puasa. Mayoritas ulama berpendapat bahwa niat harus ditetapkan pada malam hari, yaitu sebelum terbit fajar.
Dalilnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar dari Hafshah: “Barangsiapa tidak menetapkan niat puasa sebelum fajar, maka tidak ada puasa baginya.” (HR Ahmad dan para penyusun Sunan).
Namun, status hadis ini masih diperdebatkan, apakah benar-benar marfu’ (dari Nabi) ataukah mauquf (pendapat sahabat). Imam Bukhari, Abu Dawud, An-Nasai, At-Tirmidzi, dan Ibnu Abi Hatim menganggap hadis ini mauquf, sehingga tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum dalam masalah ini.
Karena itu, ada ruang untuk perbedaan pendapat mengenai waktu niat. Beberapa ulama yang mengikuti hadis tersebut berpendapat bahwa niat harus ditetapkan sebelum fajar.
Namun, ulama lainnya seperti Abu Hanifah membolehkan niat sebelum fajar atau bahkan setelahnya, hingga tengah hari dalam kasus puasa Ramadan.
Ada juga yang membatasi syarat niat malam hari hanya untuk puasa wajib, sementara untuk puasa sunnah, niat dapat ditetapkan di siang hari sebelum tengah hari.
Dalil mereka adalah hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dari Aisyah: “Rasulullah SAW pernah masuk ke rumah salah satu istri beliau dan bertanya, ‘Apakah ada makanan?’ Jika mereka menjawab, ‘Tidak,’ beliau berkata, ‘Kalau begitu aku sedang berpuasa.'” (HR Muslim).
Demikian pula hadis dalam Shahihain yang menyebutkan bahwa saat puasa Asyura diwajibkan, Rasulullah SAW memerintahkan seseorang untuk mengumumkan kepada orang-orang di siang hari: “Barangsiapa yang sudah makan, hendaklah ia menahan diri, dan barangsiapa yang belum makan, hendaklah ia berpuasa.” (HR Bukhari dan Muslim).
Ada juga ulama seperti Az-Zuhri, Atha’, dan Zufar yang tidak mewajibkan niat dalam puasa Ramadan. Mereka tampaknya berpandangan bahwa puasa Ramadan tidak memerlukan niat karena cukup dengan menahan diri, seseorang sudah dianggap berpuasa.
Jangan Lewatkan: Sahur bagi Orang yang Berpuasa
Imam Malik berpendapat bahwa niat puasa pada malam pertama Ramadan sudah cukup untuk seluruh bulan, tanpa perlu diperbarui setiap malam, karena puasa Ramadan dianggap sebagai satu kesatuan ibadah, mirip dengan haji, di mana niat di awal sudah cukup meskipun ritualnya tersebar di beberapa hari.
Namun, yang lebih nampak adalah bahwa puasa setiap hari adalah ibadah tersendiri yang menggugurkan kewajiban pada waktunya, tidak seperti haji yang merupakan satu rangkaian ibadah yang tidak sempurna jika salah satu rukunnya terlewatkan.
Apapun perdebatan tentang niat, yang pasti adalah bahwa dalam puasa Ramadan, niat sudah tertanam dalam kesadaran setiap Muslim yang ingin menjalankan kewajibannya tanpa kesulitan sama sekali.
Adapun dalam puasa sunnah, hadis-hadis dengan tegas menyatakan bahwa niat dapat ditetapkan di siang hari, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya.
Namun, tampaknya pahala hanya diberikan untuk waktu setelah niat dibuat, baik niat itu dibuat lebih awal atau terlambat, karena tidak ada pahala tanpa niat.





