Dituturkan oleh syaikh Isham Thalima.
Pembicaraan kita hari ini adalah tentang salah satu tokoh yang berperan dalam pembaruan dalam bidang fikih dan pemikiran Islam.
Beliau adalah sosok yang berani menyuarakan kebenaran di hadapan penguasa dan dunia, serta menggabungkan perjuangan Islam dan nasionalisme, baik dalam melawan penjajah maupun dalam upaya ijtihad dan pembaruan dalam institusi keagamaan Islam.
Beliau adalah Al-Allamah Syaikh Muhammad Mustafa Al-Maraghi, yang pernah menjabat sebagai Syaikh Al-Azhar dua kali dalam hidupnya.
Baca Juga: Abdul Halim Abu Shaqqa: Pemikir dan Penerbit yang Berdedikasi
Masa Muda dan Pendidikan
Syaikh Muhammad Mustafa Al-Maraghi menghafal Al-Qur’an sejak kecil, kemudian masuk Al-Azhar dan lulus dengan prestasi yang membanggakan.
Beliau adalah murid langsung dari Imam Muhammad Abduh, seorang tokoh pembaru Islam, dan menjadi lulusan terbaik kedua di angkatannya.
Pada masa itu, para syaikh tidak menyukai murid-murid yang belajar kepada Muhammad Abduh karena dianggap sebagai pengikut pembaruan.
Pengalaman di Sudan: Konflik dengan Penguasa Inggris
Setelah lulus, beliau dikirim sebagai hakim ke Sudan, yang saat itu berada di bawah kekuasaan Inggris dan Mesir secara bersama-sama di bawah mandat Inggris.
Ketika bertugas sebagai hakim syariah di sana, beliau sering berselisih dengan penguasa Inggris karena mereka ingin memaksakan kehendaknya.
Suatu ketika, hakim Inggris menerima gaji 50 pound per bulan, sedangkan hakim Mesir hanya menerima sekitar 16 atau 14 pound. Setelah tekanan, gaji hakim Mesir dinaikkan menjadi 20 pound.
Namun, Syaikh Al-Maraghi marah dan menolak kenaikan tersebut, karena menurutnya tidak adil bahwa hakim Inggris menerima 50 pound sementara hakim Mesir hanya 20 pound. Akibatnya, terjadi konflik antara beliau dan penguasa Inggris, sehingga beliau kembali ke Mesir.
Kembali ke Sudan dengan Syarat
Dua tahun kemudian, beliau diminta kembali ke Sudan, namun dengan syarat bahwa pengangkatannya harus dilakukan oleh Raja Fuad, raja Mesir, bukan oleh penguasa militer Inggris.
Permintaannya dikabulkan, dan beliau kembali ke Sudan sebagai hakim, namun dengan dua syarat:
- Pengangkatannya harus oleh raja.
- Beliau tidak akan menerima campur tangan dari Inggris dalam keputusannya.
Dukungan terhadap Revolusi 1919
Ketika Revolusi 1919 meletus di Mesir, beliau mendorong rakyat untuk berdemonstrasi melawan Inggris. Penguasa militer Inggris menegurnya, namun beliau dengan tegas menyatakan bahwa penguasa Inggris bukanlah atasan beliau, karena beliau diangkat oleh rakyat Mesir, bukan oleh Inggris.
Akibatnya, penguasa Inggris mengirim laporan ke Inggris bahwa Syaikh Al-Maraghi adalah sosok yang berbahaya dan keras kepala, serta tidak mau berkompromi dalam melawan Inggris. Akhirnya, beliau kembali ke Mesir dan diangkat sebagai Syaikh Al-Azhar.
Konflik dengan Raja Fuad
Pada masa Raja Fuad, terjadi insiden ketika syaikh al-Maraghi meminta seorang ulama buta, Syaikh Yusuf Ad-Dajwi, untuk memimpin shalat Jumat.
Raja Fuad meremehkan orang Mesir dan bertanya kepada Syaikh Al-Maraghi mengapa beliau memilih seorang ulama buta. Syaikh Al-Maraghi menjawab bahwa dalam Islam, tidak ada syarat bahwa imam harus bisa melihat, karena Islam mengajarkan persamaan derajat.
Raja Fuad marah, namun Syaikh Al-Maraghi tidak takut untuk menyuarakan kebenaran. Beliau kemudian dipecat, namun setelah terjadi revolusi besar di Al-Azhar, beliau dipaksa kembali menjadi Syaikh Al-Azhar oleh mahasiswa Al-Azhar.
Insiden dengan Raja Farouk
Ketika Raja Farouk naik tahta, terjadi insiden lain. Dalam suatu acara resmi, Syaikh Al-Maraghi marah karena ulama ditempatkan di barisan ketiga, sementara para pejabat dan menteri berada di barisan depan. Beliau menolak duduk dan meminta Raja Farouk untuk mengubah tata tempat tersebut.
Raja Farouk berjanji akan mengubahnya, namun Syaikh Al-Maraghi menegaskan bahwa beliau tidak akan duduk sampai perubahan itu benar-benar dilakukan. Akhirnya, Raja Farouk terpaksa mengubah tata tempat tersebut.
Dukungan terhadap Perjuangan Umat Islam di Luar Mesir
Syaikh Al-Maraghi juga dikenal karena dukungannya terhadap perjuangan umat Islam di luar Mesir, seperti dalam kasus Revolusi Al-Buraq tahun 1929 di Palestina. Beliau mendukung perjuangan melawan Zionisme dan mengajak umat Islam untuk bersatu melawan penjajahan.
Muhammad Rasyid Ridha mengagumi sikap beliau dan membandingkannya dengan sikap Syaikh Abu Al-Fadl Al-Jizawi yang menolak terlibat dalam politik. Syaikh Al-Maraghi berpendapat bahwa sebagai umat Islam, tidak boleh meninggalkan tanah air yang dijajah.
Pembaruan di Al-Azhar dan Pemikiran Islam
Beliau juga berperan dalam pembaruan di Al-Azhar dan pemikiran Islam. Beliau menulis buku berjudul “Al-Ijtihad” yang membahas dasar-dasar ijtihad dan pandangannya tentang pembaruan dalam fikih.
Beliau juga memperkenalkan konsep “wasiat wajibah” untuk melindungi hak anak yatim, serta mengadopsi pendapat Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim dalam masalah perceraian, yang dianggap sebagai upaya menyelamatkan keluarga Muslim.
Jangan Lewatkan: Anwar Al-Jundi: Sang Penulis dan Pemikir Islam dari Mesir
Akhir Hayat dan Warisan Syaikh Al-Maraghi
Syaikh Al-Maraghi juga memperkenalkan kopiah yang biasa dipakai oleh ulama Al-Azhar saat ini, yang beliau bawa dari Turki. Beliau adalah sosok yang berani dan tidak takut menyuarakan kebenaran.
Pada akhir hayatnya, beliau berselisih dengan Raja Farouk karena menolak mengeluarkan fatwa yang melarang mantan istri raja untuk menikah lagi setelah diceraikan.
Beliau wafat pada tahun 1945, meninggalkan warisan besar dalam pembaruan dan perjuangan Islam.
Semoga Allah merahmati Syaikh Muhammad Mustafa Al-Maraghi dan membalas jasa-jasanya. Amin.





