Membaca Manuver Kontroversial Uni Emirat Arab

by
Putra Mahkota Abu Dhabi Sheikh Mohammed bin Zayed al-Nahyan (kanan) berjabat tangan dengan Presiden Israel Isaac Herzog (kiri). (Foto Aljazeera)

Uni Emirat Arab (UEA) kembali menunjukkan wajahnya yang sesungguhnya. Di tengah upaya rekonstruksi Gaza, UEA justru memilih jalan yang bertentangan dengan solidaritas Arab.

Mereka lebih memilih mendukung rencana kontroversial Trump, yang jelas-jelas merugikan rakyat Palestina.

Ini bukan sekadar kebijakan politik, tapi pengkhianatan terhadap perjuangan Palestina.

Baca Juga: Pemberontakan Kurdi terhadap Turkiye: Analisis Konflik dan Harapan

UEA vs Solidaritas Arab: Siapa yang Berkhianat?

UEA diduga melobi pemerintahan Trump untuk menggagalkan rencana rekonstruksi Gaza yang diusulkan oleh negara-negara Arab, termasuk proposal Mesir yang didukung Liga Arab.

Proposal ini bertujuan mempertahankan warga Palestina di Gaza tanpa pengusiran paksa, serta mengembalikan kekuasaan kepada Otoritas Palestina yang direformasi. Tapi UEA?

Mereka lebih memilih rencana Trump: pelucutan senjata Hamas dan menjadikan Gaza sebagai kawasan wisata.

Duta Besar UEA untuk AS, Yousef Al Otaiba, dengan tegas menyatakan, “Tidak ada alternatif selain rencana Trump.”

Pernyataan ini bukan hanya mengejutkan, tapi juga memalukan. Bagaimana bisa sebuah negara Arab justru menjadi kaki tangan AS dan Israel, sementara saudara-saudaranya berjuang untuk Palestina?

Motivasi UEA: Ketakutan dan Kepentingan

Apa yang mendorong UEA mengambil langkah kontroversial ini?

Pertama, jika bukan yang utama, Ketakutan terhadap Ikhwanul Muslimin.
UEA melihat Hamas sebagai ancaman eksistensial.

Bagi mereka, Hamas adalah bagian dari Ikhwanul Muslimin, yang dianggap mengancam stabilitas monarki mereka. Ini bukan tentang keamanan regional, tapi tentang mempertahankan kekuasaan.

Kedua, Kepentingan Strategis dengan AS. UEA jelas ingin memperkuat hubungan dengan AS. Dengan mendukung rencana Trump, mereka berharap mendapat dukungan internasional untuk proyek-proyek ekonomi dan infrastruktur mereka. Ini politik transaksional, di mana Palestina menjadi tumbal.

Ketiga, Perpecahan di Dunia Arab. UEA memilih jalan yang berbeda dari negara Arab lain seperti Mesir, Yordania, dan Arab Saudi.

Mereka lebih memilih pendekatan tegas, sementara negara lain mengedepankan solusi bertahap yang lebih manusiawi.

Manuver UEA dalam Perspektif Geopolitik

Manuver UEA dalam geopolitik Timur Tengah tampaknya didasarkan pada ketakutan terhadap pengaruh Ikhwanul Muslimin, yang dianggap sebagai ancaman serius bagi stabilitas monarki mereka.

Beberapa manuver politik UEA mencerminkan hal ini.

Pertama, Dukungan terhadap Kudeta di Mesir (2013)

UEA secara aktif mendukung kudeta militer yang menggulingkan Presiden Mohamed Morsi, anggota Ikhwanul Muslimin, dan mendukung rezim Abdel Fattah el-Sisi yang lebih sejalan dengan kepentingan mereka.

Kedua, Blokade Qatar (2017)

UEA bersama Arab Saudi, Bahrain, dan Mesir menerapkan blokade terhadap Qatar karena dianggap mendukung Ikhwanul Muslimin dan memiliki hubungan dekat dengan Turki.

Ketiga, Intervensi di Libya

Dalam konflik Libya, UEA mendukung pasukan Jenderal Khalifa Haftar yang berusaha menggulingkan pemerintah yang diakui secara internasional, yang didukung oleh Turki dan kelompok-kelompok Islamis, termasuk Ikhwanul Muslimin.

Ke-empat, Penolakan terhadap Hamas

UEA menentang Hamas karena dianggap sebagai bagian dari jaringan Ikhwanul Muslimin yang menolak normalisasi hubungan dengan Israel. Sikap ini juga mencerminkan kekhawatiran UEA terhadap potensi penguatan pengaruh kelompok Islam politik di kawasan.

Reaksi Dunia Arab: Solidaritas yang Retak

Sikap UEA ini memicu kemarahan di dunia Arab. Liga Arab bahkan mengadakan KTT luar biasa untuk menolak rencana Trump dan mendukung proposal Mesir. Negara-negara seperti Mesir dan Yordania menilai UEA telah melemahkan solidaritas Arab.

Hubungan UEA dengan Mesir pun tegang. UEA dituduh lebih memprioritaskan kepentingan geopolitiknya daripada solidaritas Arab.

Semua ini menunjukkan pola yang sama: UEA lebih memilih kepentingan pribadi (monarki)nya daripada persatuan Arab.

Dampak terhadap Stabilitas Regional

Keputusan UEA ini bukan tanpa konsekuensi. Pertama, jelas, perpecahan Arab yang Semakin Dalam. UEA memperlebar jurang antara negara Arab yang pro-Palestina dan yang pro-AS. Ini melemahkan upaya kolektif untuk mendukung rakyat Palestina.

Kedua, Melemahnya Solidaritas Arab.
Dukungan UEA terhadap rencana Trump dianggap sebagai pengkhianatan terhadap perjuangan Palestina. Ini merusak legitimasi negara-negara Arab di mata rakyatnya sendiri.

Ketiga, Potensi Eskalasi Konflik
Sikap UEA terhadap Hamas hanya akan memperburuk konflik di Gaza. Rakyat Palestina tidak butuh solusi sepihak, tapi keadilan dan kemerdekaan.

Jangan Lewatkan: Mahmoud Khalil: Aktivis Pro-Palestina yang (Coba) Dibungkam AS

Manuver UEA: Pengkhianatan terhadap Palestina

UEA telah memilih jalan yang salah. Dengan mendukung rencana Trump, mereka bukan hanya mengkhianati rakyat Palestina, tapi juga merusak solidaritas Arab.

Ini bukan tentang stabilitas regional, tapi tentang mempertahankan kekuasaan dan kepentingan pribadi monarkinya.

Dalam konteks geopolitik yang kompleks, UEA menunjukkan bahwa mereka lebih memilih menjadi sekutu AS daripada berdiri bersama saudara-saudara Arabnya.

Sejarah akan mencatat: pengkhianatan terhadap Palestina tidak akan pernah dilupakan. (Ihsan Mujahid)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

No More Posts Available.

No more pages to load.