Pertanyaan: Bagaimana hukumnya orang yang berpuasa tetapi dia meninggalkan (tidak) melaksanakan sholat?
Jawaban syaikh Qaradhawi
Di antara hal-hal aneh yang terjadi dalam kehidupan sebagian umat Islam adalah menemukan seseorang yang sangat bersemangat menjalankan puasa di bulan Ramadan, tetapi sayangnya, ia tidak begitu peduli dengan menjalankan shalat.
Bulan Ramadan memiliki tempat istimewa dan keagungan luar biasa dalam hati masyarakat, yang mereka warisi dari generasi ke generasi.
Oleh karena itu, hanya orang yang benar-benar durhaka yang akan berani mengabaikan kesuciannya, hingga hampir bisa dikatakan bahwa orang seperti itu tidak memiliki bagian apapun dalam Islam.
Tidak diragukan lagi, shalat memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan puasa dalam ajaran agama.
Baca Juga: Puasa Anak-Anak: Panduan dan Batasan Usia dalam Islam
Shalat adalah ibadah pertama dan tiang agama Islam. Ia menjadi pemisah antara seorang Muslim dan kafir. Namun, kebodohan, kelalaian, serta cinta dunia telah membuat sebagian orang melupakan pentingnya shalat dan posisinya dalam Islam.
Bahkan, ada orang yang hidup bertahun-tahun tanpa pernah sekali pun ruku’ kepada Allah!
Setiap tahun, selama bulan Ramadan, kita sering dihadapkan pada pertanyaan berulang ini: Apa hukum orang yang berpuasa namun tidak shalat?
Pendapat Pertama: Puasanya Tidak Sah
Ada yang berpendapat bahwa meninggalkan shalat sama saja dengan kafir, seperti yang tampak dari beberapa hadis Nabi Muhammad ﷺ.
Ini juga merupakan pandangan sejumlah sahabat dan ulama, seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Ishak bin Rahawaih, dan lainnya.
Menurut mereka, hukumnya jelas: puasa orang semacam itu tidak sah, karena dengan meninggalkan shalat, ia telah menjadi kafir. Dan puasa tidak diterima dari seseorang yang kafir.
Pendapat Kedua: Puasanya Diterima, tapi Dia Berdosa atas Kelalaian Shalat
Namun, mayoritas ulama—baik dari kalangan salaf maupun khalaf—memiliki pandangan berbeda. Mereka berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat bukanlah kafir, melainkan fasiq (pelaku dosa besar).
Menurut mereka, Allah tidak akan menyia-nyiakan amal baik siapa pun, bahkan sekecil apa pun. Seperti firman-Nya:
“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat balasannya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat balasannya pula.”
(QS. Az-Zalzalah: 7-8)
Dengan demikian, mereka berpendapat bahwa orang tersebut tetap mendapatkan pahala atas puasanya, meskipun ia tetap harus mempertanggungjawabkan dosanya karena meninggalkan shalat.
Hukuman atas meninggalkan kewajiban shalat tidak otomatis menghapus pahala atas ibadah lainnya, termasuk puasa. Allah Ta’ala berfirman:
“Dan Kami akan menetapkan timbangan yang adil pada Hari Kiamat, maka tidak seorang pun akan dizalimi sedikit pun. Dan jika ada (amal) seberat biji sawi pun, pasti Kami akan mendatangkannya (untuk pembalasan), dan cukuplah Kami sebagai Penghitung.”
(QS. Al-Anbiya’: 47)
Jangan Lewatkan: Apakah Menonton Program TV Membatalkan Puasa?
Perspektif Praktis dan Pendidikan
Secara praktis dan pendidikan, apa manfaatnya jika kita berkata kepada seseorang yang berpuasa namun tidak shalat: “Puasamu tidak bermanfaat, tidak ada pahala bagimu”?
Bisa jadi, komentar seperti itu akan membuatnya meninggalkan puasa sama seperti ia meninggalkan shalat. Dengan kata lain, satu-satunya ikatan spiritual yang tersisa antara dia dan agama—yaitu ibadah wajib—akan putus sepenuhnya. Akhirnya, ia mungkin akan semakin jauh dari Islam tanpa harapan untuk kembali.
Pendekatan yang lebih bijaksana dan bermanfaat adalah dengan memberi motivasi.
Misalnya, kita bisa berkata: “Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan atas puasamu. Sekarang, sempurnakanlah Islammu dengan melaksanakan ibadah yang lebih utama daripada puasa, yaitu shalat. Kamu sudah bersabar menahan lapar dan haus demi keridhaan Allah, lalu mengapa enggan berdiri sejenak untuk shalat bersama kaum Muslimin? Mengapa enggan ruku’ bersama orang-orang yang ruku’, demi meraih ridha Allah?”
Menjaga satu ikatan spiritual, meskipun hanya berupa puasa selama sebulan setiap tahun, jauh lebih baik daripada memutuskan hubungan itu sepenuhnya.
Seperti pepatah: “Mata yang buta sebelah lebih baik daripada mata yang sepenuhnya buta.”
Sumber: “Fiqh As-Shiyam” oleh Syeikh Yusuf Qaradawi.





