Negara-negara Teluk menolak untuk menjadi pangkalan peluncuran bagi serangan Amerika Serikat (AS) terhadap Iran.
Keputusan ini menggambarkan penolakan tegas dari Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), Qatar, dan Kuwait terhadap penggunaan wilayah udara mereka oleh pesawat tempur AS jika terjadi konflik dengan Iran.
Sebagai respons, AS kini beralih ke pangkalan strategis Diego Garcia di Samudra Hindia sebagai titik peluncuran potensial.
Penolakan Tegas Negara-Negara Teluk
Menurut seorang pejabat senior AS yang berbicara secara anonim kepada Middle East Eye , negara-negara Teluk telah memberi tahu Washington bahwa mereka tidak akan mengizinkan wilayah udara atau fasilitas mereka digunakan untuk operasi militer terhadap Iran, termasuk untuk misi pengisian bahan bakar atau penyelamatan.
“Mereka tidak ingin terlibat,” ujar pejabat tersebut.
Langkah ini merupakan pukulan signifikan bagi administrasi Presiden Donald Trump, yang berharap dapat menggunakan serangan udara besar-besaran terhadap Houthi di Yaman sebagai cara untuk menekan Teheran agar mau bernegosiasi ulang perjanjian nuklir.
Jika Iran menyadari bahwa sekutu-sekutu kaya minyak AS di Teluk tidak mendukung serangan, posisi negosiasi Iran kemungkinan akan semakin kuat.
Diego Garcia: Solusi Alternatif AS
Sebagai tanggapan atas penolakan negara-negara Teluk, AS telah memindahkan pesawat pembom B-2 ke pangkalan Diego Garcia.
Menurut data satelit terbuka yang diberikan oleh Planet Labs, setidaknya ada tiga hingga lima pesawat B-2 di pangkalan tersebut.
Diego Garcia, yang terletak sekitar 5.300 kilometer dari Iran, berada dalam jangkauan operasional B-2, yang mampu membawa bom “bunker-buster” seberat 13.600 kg untuk menembus fasilitas nuklir bawah tanah Iran.
Penggunaan Diego Garcia memberi AS opsi untuk menghindari wilayah udara negara-negara Teluk sepenuhnya, atau setidaknya memberikan alasan bagi monarki Teluk untuk menyangkal keterlibatan langsung dalam serangan.
Hal ini memperkecil kemampuan Iran untuk menahan serangan AS atau Israel dengan mengancam infrastruktur energi di Teluk.
Ancaman Balasan Iran
Iran sendiri telah memberikan peringatan keras kepada negara-negara Teluk.
Pada Oktober 2024, ketika bersiap menghadapi kemungkinan balasan Israel atas serangan rudal langsung kedua mereka ke negara itu, Iran memperingatkan bahwa mereka akan menyerang fasilitas minyak di Teluk jika Israel melancarkan serangan.
Namun, dengan AS kini menggunakan Diego Garcia, Iran memiliki lebih sedikit opsi untuk menahan serangan.
Para ahli seperti Behnam Ben Taleblu dari Foundation for Defense of Democracies mencatat bahwa Iran dapat merespons dengan berbagai cara, termasuk meluncurkan rudal balistik antarbenua melalui Houthi.
Iran pun bisa mengerahkan drone Shahed dari kapal, atau menggunakan rudal balistik peluncur kontainer buatan Rusia dan China dari Samudra Hindia.
Trump Ancam Perang Baru
Dalam wawancara baru-baru ini, Trump mengancam akan melancarkan serangan “seperti yang belum pernah dilihat Iran sebelumnya” jika Teheran tidak setuju untuk bernegosiasi ulang kesepakatan nuklir.
Administrasi Trump menuntut pemutusan total kemampuan nuklir Iran, sebuah permintaan yang ditolak keras oleh Iran, yang bersikeras bahwa program nuklirnya hanya untuk tujuan sipil.
Tuntutan AS juga menempatkan negara itu pada jalur tabrakan dengan Rusia, yang membangun pembangkit listrik tenaga nuklir pertama Iran di Bushehr dan saat ini sedang dalam pembicaraan untuk proyek-proyek tambahan.
Gerakan Militer AS di Timur Tengah
Selain memindahkan pesawat pembom B-2 ke Diego Garcia, AS juga telah memerintahkan dua kapal induk ke Timur Tengah.
Salah satunya, USS Carl Vinson, dipindahkan dari Pasifik ke wilayah tersebut meskipun ketegangan di sekitar Taiwan meningkat.
AS saat ini memiliki sekitar 40.000 tentara di Timur Tengah, dengan mayoritas berbasis di negara-negara Teluk yang kaya minyak.
Beberapa pangkalan strategis AS di kawasan ini meliputi:
- Prince Sultan Air Base di Arab Saudi, rumah bagi jet tempur F-16 dan F-35.
- Al Dhafra Air Base di UEA, yang mengoperasikan drone MQ-9 Reaper.
- Ali al-Salem Air Base di Kuwait, markas 386th Air Expeditionary Wing.
- Al Udeid Air Base di Qatar, yang menjadi pusat komando regional AS Central Command.
- Bahrain, yang menampung sekitar 9.000 tentara AS dari Komando Angkatan Laut Pusat dan Armada Kelima.
Jangan Lewatkan: AS dan Houthi Saling Serang: Ketegangan Meningkat di Yaman dan Laut Merah
Masa Depan Ketegangan Regional
Sementara itu, diplomat dan analis regional masih mencoba memahami apakah penumpukan militer AS bertujuan untuk mendukung ancaman Trump atau sebagai persiapan untuk serangan nyata.
Yang jelas, langkah-langkah ini menunjukkan eskalasi ketegangan yang signifikan di Timur Tengah, dengan Iran dan AS saling mengincar dalam permainan geopolitik yang semakin kompleks.
Bagaimana Iran akan merespons, serta bagaimana negara-negara Teluk akan menjaga netralitas mereka, akan menjadi faktor penentu dalam dinamika konflik ini ke depannya.




